Profile

EKO NIO RIZKI

Hometown
Surabaya

Sekolah di
SMAN11 Sby(Smalven)

Didukung Oleh

The...visitor


Free Hit Counter

online visitor(s)

Jam Berapakah Sekarang???

Atensi


Free shoutbox @ ShoutMix

HOroscoP

Archives

  • qershor 2007
  • Friends Blogs

    Asa's Blog - Pamper's Blog - Nio's Blog - Gheany's Blog - Wahyu's Blog - DY's Blog - Cupik's Blog - Piky's Blog - Edy PSW's Blog - Yunita's Blog -

    Links

    Kompas WebBlog Competition - Ny school Official site - Blogskins - Yahoo! - Google - Friendster - friendster-layouts - MyNiceSpace - Graffitigen - KapanLagi.com - RockYou - photobucket - Song2Play - ivideocode - OkeZone - MySpace - Musik-Live - LINKIN PARK -

    Credits

    - Skin By: Skin City
    - Image By: Sneaks77
    - Powered By: Blogger
    - Disigned By: Eko Nio Rizki

    Musik

    Free Music
    Free Music
    Free Music

    e premte, 15 qershor 2007

    Introduction

    Hi para Visitor sekalian, Free your mind......., judul itulah yang terpampang di bagian atas blog saya, koq free your mind judulnya, bukan Surabaya bla bla bla, koq gak nyambung?, judul ini bukan tanpa alasan,

    free your mind secara etimologis berarti bebaskanlah anganmu, bebaskan anganmu sejauh mungkin, angan-angan tentang kotamu yang tercinta SURABAYA.

    ENJOY......




    Selanjutnya...
    Appear 11:04 e pasdites



    Bagaimana Membangun Tanpa Merusak Cagar Budaya?

    RENTETAN sejarah perjuangan membuahkan sebutan Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Julukan itu dengan bangganya ditetapkan sebagai jati diri kota, di mana keberadaan Tugu Pahlawan menambah kuat identitas tersebut. Pada saat yang sama, Surabaya kini terus membangun diri dengan menekankan pada sektor pembangunan industri, perdagangan, dan jasa.

    Jauh sebelum peristiwa heroik zaman kemerdekaan yang kemudian menempatkan Surabaya sebagai Kota Pahlawan, nenek moyang kota ini sebenarnya sudah menunjukkan sifat heroiknya. Sejarah berdirinya Kota Surabaya diawali dengan keberhasilan pasukan Raden Wijaya menghancurkan bala tentara Tartar di Pacekan, Surabaya, yang kini kokoh berdiri Pintu Air Jagir.

    Peristiwa tahun 1293 yang sekaligus menggagalkan rencana penyerangan tentara Tartar ke Kediri itulah yang hari Sabtu ini, 31 Mei 2003, diperingati sebagai Hari Ulang tahun (HUT) Surabaya yang ke-710.

    Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pun menetapkan pintu air tersebut sebagai satu dari 61 bangunan cagar budaya yang tidak boleh diubah, dirobohkan, apalagi dirusak. Keputusan itu ditetapkan dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 tentang penetapan bangunan cagar budaya.

    Tidak ketinggalan pula bangunan-bangunan yang masuk kategori cagar budaya selain yang berjumlah 61 buah tersebut. Menurut anggota Tim Pelestarian Cagar Budaya Surabaya yang juga Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Tondojekti, jumlah bangunan yang bisa masuk kategori cagar budaya sebenarnya bisa ribuan buah.

    Akan tetapi, jumlah yang terdeteksi dan dikuatkan dalam SK wali kota hanya sebanyak 102 buah, termasuk situs-situs zaman keraton Surabaya ketika masih berkuasa. Kendala biaya, sekali lagi, menjadi alasan utamanya.

    PEMKOT Surabaya mengaku sadar betul pentingnya mempertahankan bangunan cagar budaya tersebut dari ancaman kehancuran. Buktinya, menurut mereka, lahirnya dua buah SK wali kota tentang cagar budaya.

    Dalam buku materi sosialisasi pelestarian benda cagar budaya Kota Surabaya tahun 2003, telah dituliskan poin-poin penting dalam mempertahankan bangunan cagar budaya, termasuk detail alasan mengapa sebuah bangunan atau kawasan bisa ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

    Praktiknya, kepentingan ekonomis lebih menang daripada (sekadar) mempertahankan bangunan-bangunan tua yang dinilai tidak menghasilkan. Pelan tapi pasti, berdirilah bangunan-bangunan pembawa misi profit di Surabaya. Ironisnya, bangunan cagar budaya tidak sedikit yang tergusur.

    Lihat saja bangunan-bangunan di kawasan lama, misalnya di Jalan Tunjungan dan Darmo, bangunan cagar budaya tampak mulai berdiri terasing dari bangunan-bangunan di sekitarnya lengkap dengan papan-papan reklame.

    Bahkan, beberapa di antaranya sudah dirobohkan demi berdirinya bangunan perkantoran atau pertokoan yang lebih mendatangkan rupiah bagi kota. Kalau tidak roboh, saksi-saksi bisu sejarah pada zamannya itu terlihat kotor, lusuh, dan tak terawat, tak sedap dipandang mata. Kalau sudah begitu, muncullah pembenaran penggusuran dilakukan.

    Pembangunan kota menuju kota metropolitan atau megapolitan, di sisi lain telah membuktikan sebagai ancaman bagi berdirinya bangunan atau kawasan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya.

    Kemungkinan ke arah tersebut membesar karena Surabaya tidak memiliki aturan hukum kuat yang mengatur sanksi bagi mereka yang jelas-jelas merusak nilai sejarah sebuah bangunan atau kawasan. Kekuatan SK wali kota selama ini kurang berarti, sementara peraturan daerah (Perda) yang mengatur sanksi masih dalam konsep.

    Jangankan SK wali kota dan perda, penerapan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1992 tentang benda cagar budaya yang mengatur sanksi hukuman kurungan maksimal 10 tahun atau sanksi denda 100 juta saja, sangat lemah di lapangan.

    Kalau sudah begini, komitmen kuat yang tertransfer dengan baik dalam setiap pemegang kebijakan kota menjadi jalan keluarnya. Persoalannya, sejauh mana kesadaran ini menjadi kesadaran kolektif, baik birokrat maupun masyarakat.

    Para pejabat pemkot, termasuk Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono mengungkapkan perhatiannya pada pemeliharaan bangunan cagar budaya. Salah satunya, dengan menghentikan pameran dagang di Balai Pemuda Surabaya yang bernilai sejarah.

    Akan tetapi, contoh itu belum berarti apa pun bila dalam praktiknya, ancaman penggusuran bangunan cagar budaya tetap terasa semakin dekat. Konsistensi penegakan hukum dan kemauan keras pemkot maupun legislatif untuk melahirkan perda cagar budaya menjadi awal kesungguhan dalam mempertahankan cagar budaya.

    Kota-kota di negara-negara maju di berbagai belahan dunia menyuguhkan eksotisme kekinian dari benda-benda cagar budaya yang berusia ratusan tahun. Kemampuan memadukan nilai-nilai sejarah dalam kekinian ternyata brilian. Bahkan, keuntungan lain pun mengalir dari meningkatnya kunjungan wisata sejarah sebuah kota.

    Kota Surabaya jelas-jelas sangat berpotensi dalam persoalan yang satu ini. Sayang, bila peluang ini berlalu begitu saja. (GESIT ARIYANTO)

    Sumber: KOMPAS Senin, 02 Juni 2003, Bagaimana Membangun Tanpa Merusak Cagar Budaya? Oleh: GESIT ARIYANTO


    Selanjutnya...
    Appear 11:01 e pasdites



    Masa Lalu Surabaya yang Masih Tersisa

    Kompas: Kamis, 05 Juni 2003 Oleh: DEWI INDRIASTUTI

    KETIKA para turis berkeliling Kota Surabaya, maka di beberapa belahan kota masih ditemukan sisa-sisa masa lalu kota ini berupa bangunan kuno. Jumlahnya bisa mencapai ratusan, namun yang dipastikan terawat baik hanya sebagian saja.

    DALAM daftar bangunan cagar budaya yang tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 menyebutkan 61 bangunan yang termasuk dalam kategori cagar budaya. Daftar bangunan dalam SK Wali Kota Surabaya Nomor 188.45/207/402.1.04/ 1998 tentang cagar budaya. Jumlah bangunan yang disertakan lebih banyak, mencapai 102 unit.

    Jika dikategorikan dalam cagar budaya, artinya bangunan-bangunan itu dilindungi dan dilestarikan, serta dihindarkan dari kemungkinan pembongkaran, penghancuran, dan perubahan bentuk. Kata melindungi ternyata sangat pasif, tidak ada upaya pengawasannya, apalagi ikut memelihara.

    Pada kenyataannya, tidak sedikit bangunan cagar budaya yang kondisinya tak jelas. Jangankan dihindarkan dari kemungkinan perubahan bentuk, bangunan cagar budaya malahan dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru yang dianggap lebih sesuai dengan kondisi saat ini dengan pertimbangan bisnis, contoh kasusnya Stasiun Semut.

    Sementara itu, bangunan yang tidak laku untuk kegiatan dibiarkan telantar dan rusak dimakan usia. Bukan karena enggan merawat, namun si empunya bangunan tidak memiliki cukup dana untuk menjaga kelestarian bangunan.

    Bertepatan dengan merebaknya berita mengenai penghancuran bangunan Stasiun Kota Surabaya, atau yang lebih dikenal sebagai Stasiun Semut, sebuah pameran foto bertema "Surabaya Kini" digelar di Balai Pemuda Surabaya berhasil memanfaatkan momentum ini. Pameran, yang diikuti oleh sekitar 30 anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) Surabaya, itu menghadirkan lebih kurang 78 karya.

    Pameran, yang dibuka langsung oleh Wali Kota Bambang Dwi Hartono yang disertai oleh Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya Alisjahbana, itu menjadi potret yang jujur dari realita di Surabaya. Jika sebuah tulisan mampu bermain kata-kata untuk mengubahnya menjadi sedemikian cantik, maka makna foto akan diresapi sebagaimana yang tampak di depan mata.

    SEBAGAIMANA dikatakan oleh Abu Dardak, ketua panitia pameran foto "Surabaya Kini", perkembangan Kota Surabaya memicu berbagai perubahan. Bisa jadi perubahan itu ke arah yang semakin baik, bisa jadi menuju arah yang semakin buruk.

    Salah satunya yang tertangkap oleh kamera pewarta foto adalah perubahan nasib gedung bersejarah peninggalan masa kolonial. Beberapa foto yang dipamerkan hadir dengan obyek gedung tua di Surabaya. Hal ini menandakan bahwa gedung tua dan bersejarah di Surabaya belum tergeser dari perhatian pewarta foto.

    Mamuk Ismuntoro, Ketua PFI Surabaya, malah menyajikan tiga foto dengan obyek gedung tua di Surabaya. Ketiga foto yang dinamai secara berurutan Old Series 1, Old Series 2, dan Old Series 3, merupakan bentuk keprihatinan Mamuk terhadap nasib gedung-gedung tua.

    "Gedung tua itu merupakan warisan kolonial yang masih tersisa. Andaikata tidak ada perhatian ke sana, dipastikan tidak lama lagi Surabaya akan kehilangan gedung-gedung yang bernilai sejarah tinggi," ujar Mamuk.

    Dalam Old Series 1, sebuah gedung tua di Jalan Dukuh menjadi obyek menarik. Gedung yang difungsikan sebagai rumah itu hanya dirawat ala kadarnya, karena si empunya tak punya banyak biaya perawatan. Namun, kesan kokoh tak hilang dari sebuah foto sederhana tersebut.

    Menariknya gedung tua di Surabaya ditegaskan juga oleh Toto Santiko Budi dan Iwan Setiyawan. Kedua pewarta foto itu memotret obyek yang sama dengan sudut pengambilan gambar yang berbeda. Jika Toto asyik bermain dengan refleksi gedung pada badan mobil, maka Iwan lebih menggemari sudut yang menampakkan kemegahan dan kekokohan gedung.

    Maka Gedung Brantas, yang saat ini digunakan sebagai kantor oleh Harian Memo itu, menjadi dua sosok yang berbeda. Tegar, kokoh, megah, namun apa adanya.

    BERAGAM masalah yang menerpa Surabaya tergambar dalam pameran foto "Surabaya Kini". Banjir yang memacetkan lalu lintas, semrawutnya Pasar Keputran yang meluber hingga ke jalan, dan kesenjangan antara gedung megah dengan deretan perumahan kumuh. Gambaran tuna wisma, anak kecil yang menjadi penjual majalah, serta kemiskinan, bukan hal yang aneh di mata pewarta foto.

    Itulah yang coba dihadirkan dalam pameran kali ini. Agar penikmat foto mencermati dan mendalami makna kecintaan terhadap Kota Surabaya, yang diwujudkan melalui karya penuh kritik. Selain itu, harapan agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selaku pelaksana kebijakan mencermati kritikan, kemudian menuangkannya dalam karya selaku pengemban amanat dari masyarakat.

    Termasuk memperhatikan nasib gedung-gedung tua, baik yang tercantum dalam SK Wali Kota tentang cagar budaya maupun yang "hanya" sebagai gedung tua yang dibangun pada masa silam. Pekatnya daya tarik gedung tua, entah mengapa terlalu menarik bagi pewarta foto yang mencoba menampilkan kejujuran, namun tak sanggup menggetarkan hati Pemkot Surabaya untuk mencurahkan perhatian.

    Salah satu contoh yang menyakitkan hati adalah dibongkarnya Stasiun Kota Surabaya, yang dibangun tahun 1870 lalu. Akankah gedung-gedung bersejarah lainnya mengalami nasib serupa? Andaikata Pemkot Surabaya tak mampu menjawabnya, biarkan saja foto-foto itu berbicara. (DEWI INDRIASTUTI)


    Selanjutnya...
    Appear 10:51 e pasdites



    Mall Baru Telan Korban

    BG junction, ITC, Laguna Square, Golden City Mall, Supermall Pakuwon, DTCMasih banyak lagi mall mall baru yang lain, bahkan sebagian masih dalam proses, hal ini menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi dan bisnis di kota pahlawan ini semakin melaju pesat namun tak selamanya mall baru tersebut membawa angin segar. ITC, mall yang baru berdiri ini contohnya, belum apa-apa sudah menelan beberapa korban jiwa, salah satu yang bikin warga Surabaya atau bahkan Se-Indonesia heboh

    adalah seorang bocah yang jatuh dari lantai tiga ITC, saat itu seorang bocah enam tahun bernama Livia Mudita sedang asyik berbelanja dengan orang tuanya, namun bocah ini terlepas dari gandengan orang tuanya, menurut security ITC sebelum jatuh Livia berjalan sendiri dan hendak turun menggunakan eskalator, namun livia mengurungkan niatnya karena melihat pengunjung berjubel, setelah sedikit longgar, livia menaiki pagar pembatas, namun naas sekali, bocah ini tersangkut pada pegangan eskalator dan terjatuh hingga lantai dasar, namunkorban tak langsung tewas, korban tewas pada saat perjalanan menuju Rs Adi Husada Sby.




    Selanjutnya...
    Appear 10:15 e pasdites



    Komersialisai Hapuskan Nilai Sejarah "SOERABAJA"

    Setelah saya membaca KOMPAS Rabu, 30-05-2007 halaman:3 yang ditulis oleh Kris Razianto Mada, dalam artikel tersebut dijelaskan tentang bangunan surabaya pada masa lampau yang kental akan nilai heroik yang ditinggalkan, namun seiring berjalannya waktu nilai sejarah sekaligus identitas kota tersebut hanya tinggal beberapa saja, dan beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan komersil, sungguh sangat saya sayangkan, mengapa PEMKOT membiarkan hal ini terjadi, dan cenderung terlambat mengantisipasi meskipun sudah dilakukan????, hingga saat ini bangunan-bangunan yang tersisa adalah bangunan yang memang sudah dikomersilkan salah satunya adalah Hotel Majapahit(bekas hotel yamato),
    RS Darmo, House of Sampoerna, dan kantor Bank Mandiri di Jl. Pahlawan, alasan lain bangunan bisa bertahan adalah dirasa dimiliki atau bermanfaat, sebagian lain hilang karena pembangunan salah satunya adalah bekas stasiun kota.


    Selanjutnya...
    Appear 9:29 e pasdites